
What do you know about Somatoform Disorder?
Kata somatoform berasal dari bahasa Yunani, yaitu soma yang artinya “tubuh”. Orang yang menderita gangguan somatoform memiliki simtom fisik tetapi tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan sebagai penyebabnya. Bukti menjelaskan bahwa simtom tersebut merefleksikan faktor atau konflik psikologis. Sejumlah simtom muncul dalam bentuk seperti kelumpuhan, masalah pernafasan, atau pencernaan. Bukti medis dan psikoterapi menunjukkan bahwa pasien-pasien mengalami diri mereka sendiri seolah-olah tubuh bukan dari “diri” (Kalisvart et al., 2012). Kesulitan di masa kecil, seperti pengabaian atau kekerasan fisik dan seksual merupakan faktor risiko yang terkenal dalam perkembangan gejala fisik (vegetatif) dan gangguan (Brown, 2004; Kirmayer & Looper, 2006; Landa et al., 2012; Maunder & Hunter, 2001; Rief et al., 1998; Walker et al., 1998) pada beberapa individu.
Beberapa tipe utama Gangguan Somatoform

1. Gangguan Konversi (Conversion Disorder)
Gangguan konversi dicirikan dengan adanya suatu perubahan besar atau hilangnya fungsi fisik tanpa adanya temuan medis yang dapat ditentukan sebagai penyebabnya. Simtom fisik ini biasanya muncul secara tiba-tiba dalam situasi yang penuh tekanan. Fakta menunjukkan bahwa pertama kali, simtom konversi muncul dalam konteks, atau diperburuk oleh, konflik atau stressor yang dialami individu memberikan dukungan pada pandangan bahwa simtom itu berhubungan dengan faktor psikologis (APA, 2000). Menurut DSM, simtom konversi menyerupai kondisi neurologis yang melibatkan masalah dengan fungsi motorik yang volunteer atau fungsi sensoris. Pola simtom yang “klasik” melibatkan kelumpuhan, epilepsi, masalah koordinasi, kebutaan dan tunnel vision, kehilangan fungsi indera atau rasa pada anggota badan. Namun, beberapa pengidap gangguan konversi tidak menunjukkan kepedulian yang mengejutkan pada simtom yang muncul, kondisi ini diistilahkan sebagai la belle indifference (ketidakpedulian yang indah).
2. Gangguan Somatisasi (Somatization Disorder)
Gangguan ini dicirikan dengan keluhan yang somatik yang beragam dan terjadi secara berulang yang umumnya terjadi pada usia remaja, bertahan setidaknya beberapa tahun, dan berakibat menuntut perhatian medis, dan mengalami hendaya dalam memenuhi peranannya. Orang dengan gangguan somatisasi adalah orang yang sangat sering memanfaatkan pelayanan medis (G.R. Smith, 1994).
Keluhan-keluhannya tidak dapat dijelaskan oleh penyebab fisik dan tampak meragukan atau dibenar-benarkan, pengidapnya seringkali menerima perawatan medis dari sejumlah dokter bahkan pada saat yang sama. Gangguan ini biasanya muncul dalam konteks gangguan psikologis lain, terutama gangguan kecemasan dan depresi (Swartz dkk., 1991). Gangguan ini sering dinilai kontroversial, banyak pasien terutama wanita salah didiagnosis dengan gangguan psikologis, termasuk gangguan somatisasi, karena kesalahan dari kedokteran modern untuk mengidentifikasi keluhan dasar medis dari keluhan fisik mereka (Klonoff&Landrine, 1997).
3. Gangguan Dismorfik Tubuh (Body Dysmorphic Disorder/BDD)
Orang yang mengalami gangguan dismorfik tubuh, cenderung terpaku pada kerusakan fisik yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal penampilan mereka (APA, 2000). Pengidap gangguan ini dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk memeriksakan diri di depan cermin, sering menunjukkan pola berdandan dan mencuci, bahkan mengambil tindakan yang ekstrem untuk mencoba memperbaiki kerusakan yang ia persepsikan, bahkan menjalani operasi plastik yang tidak dibutuhkan, selain itu ada yang membuang cermin agar tidak diingatkan pada “cacat” yang dimilikinya. Mereka meyakini bahwa orang lain memandang dirinya jelek yang dapat mendorong orang lain berpikir negatif tentang karakter atau harga diri mereka sebagai manusia (Rosen, 1996). Angka BDD tidak diketahui secara jelas, karena banyak pengidap BDD yang gagal mencari bantuan atau berusaha menyembunyikan simtomnya (Cororve & Gleaves, 2001).
4. Hipokondriasis (Hypochondriasis)
Ciri utama dari hipokondriasis adalah fokus atau ketakutan bahwa simtom fisik yang dialami seseorang adalah akibat dari suatu penyakit serius yang mendasari, seperti penyakit jantung atau kanker. Perasaan takut ini tetap ada meskipun sudah diyakinkan secara medis. Pengidap gangguan ini secara tidak sadar berpura-pura akan simtom fisiknya. Mereka umumnya mengalami ketidaknyamanan fisik dan mengembangkan perasaan sangat peduli bahkan terlalu peduli pada simtom atau hal-hal kecil penyebab ketakutannya. Orang dengan gangguan ini menjadi sangat sensitif terhadap perubahan ringan dalam sensasi fisiknya (Barsky dkk., 2001). Padahal kecemasannya pada simtom fisik yang dialami dapat menimbulkan sensasi fisik tersendiri, seperti keringat, pusing, pingsan. Saat dokter berusaha menjelaskan keakutannya karena mereka sendirilah yang menyebabkan simtom fisiknya, dapat muncul lingkaran setan (vicious cycle), ia akan marah dan seringkali “belanja dokter” dengan harapan mendapatkan pelayanan yang lebih intens.
DAFTAR PUSTAKA
Nevid, S. J., Rathus, A. S., & Greene, B. (2020). Psikologi abnormal. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Devany, K., & Poerwandari, E. K. (2020). Integrating cognitive-behavioral therapy and gratitude therapy for treating somatic symptom disorder with schizoid-avoidant personality features: A case report. Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology, 7(2), 251–266.
