
Ribuan Anak Indonesia Terjebak dalam Lingkaran Eksploitasi Seksual
Tahukah kalian bahwa ribuan anak Indonesia terjebak dalam lingkaran eksploitasi seksual tanpa mereka sadari? Eksploitasi seksual anak mencakup berbagai bentuk kekerasan seperti prostitusi, pornografi, perdagangan anak untuk tujuan seksual, pariwisata seks, hingga perkawinan anak. Data SIMFONI PPA mencatat lebih dari 15.000 anak menjadi korban kekerasan seksual hingga pertengahan 2024. Pelaku memanfaatkan media digital terutama media sosial dan game online untuk menjebak anak-anak. Menurut ECPAT, pelaku terbagi menjadi dua kategori: preferensial dan situasional. Lalu, apa yang dimaksud dari kategori preferensial dan situasional?
Tindakan oleh pelaku preferensial dapat dikarenakan pelaku memiliki gangguan parafilik pedofilia. Pedofilia menurut DSM-5 didefinisikan sebagai pikiran (fantasi) seksual yang berulang dan intens, dorongan seksual, atau perilaku yang melibatkan aktivitas seksual terhadap anak atau anak pra-remaja (APA, 2013). Singkatnya, pelaku ini memiliki ketertarikan seksual terhadap anak tersebut. Sedangkan tindakan oleh pelaku situasional terjadi akibat situasi yang mendukung. Pada saat ini, pelaku melakukan eksploitasi karena adanya kesempatan atau situasi tertentu. Biasanya dapat terjadi ketika pelaku sedang liburan dan/atau hal itu berkembang menjadi suatu kebiasaan jangka panjang (Ismail et al., 2021). Misalnya, prostitusi anak dan pariwisata anak.
Pelaku eksploitasi anak cenderung memiliki keinginan untuk berkuasa atau memiliki kontrol terhadap anak. Pelaku eksploitasi seksual anak memanfaatkan ketidakstabilan anak dalam menentukan keputusan hingga situasi finansial dan sosial anak (Ismail et al., 2021). Buktinya, beberapa modus yang dilakukan pelaku biasanya berupa pemerasan, kekerasan dan bujuk rayu. Pemerasan dan kekerasan bisa berupa tindakan fisik atau manipulasi finansial. Pelaku juga kerap membujuk dengan janji uang, pendidikan, hadiah, atau bahkan pernikahan. Fenomena ini tentunya menjadi ancaman nyata terhadap masa depan anak-anak dan harus menjadi perhatian kita bersama.
“Anak-anak sering kali tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang situasi yang mereka hadapi dan dapat dipengaruhi oleh pelaku untuk merasa bahwa tindakan tersebut adalah normal atau dapat diterima.”

Anak-anak korban eksploitasi seksual kerap menunjukkan gejala trauma psikologis yang berat. Banyak dari mereka mengalami penurunan semangat sekolah, menarik diri dari pergaulan, merasa malu, dan takut berinteraksi. Melalui penelitian di Kabupaten Rejang Lebong, ditemukan bahwa anak-anak korban kekerasan seksual sering mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan sosial. Bahkan, rasa bersalah dan ketidaktahuan bahwa mereka adalah korban membuat mereka memilih diam. Rasa malu dan stigma dari lingkungan memperparah kondisi mental mereka. Jika tidak segera ditangani, trauma ini bisa berdampak hingga jangka panjang.
Salah satu dampak psikologis yang paling umum dialami oleh korban kekerasan seksual adalah munculnya gangguan stres pascatrauma (PTSD). Kondisi ini ditandai dengan kilas balik traumatis, kecemasan yang intens, dan rasa tidak aman yang menetap. Selain PTSD, banyak korban juga mengalami gangguan tidur, rasa takut berlebihan, serta gejala depresi yang mempengaruhi keseharian mereka secara signifikan. Temuan ini selaras dengan laporan UNICEF, yang mengungkapkan bahwa trauma akibat kekerasan seksual tidak hanya berdampak sesaat, tetapi juga dapat menimbulkan gangguan psikologis jangka panjang.
Dampak eksploitasi seksual terhadap tubuh anak juga sangat kompleks. Aktivasi sistem stres seperti sumbu HPA meningkatkan kadar kortisol secara kronis, yang mengganggu sistem kekebalan, hormon, dan tidur. Selain trauma emosional, anak-anak juga sering mengalami cedera fisik seperti robekan genital, memar, hingga risiko penyakit menular seksual seperti HIV dan herpes. Dalam aspek kognitif, korban mengalami gangguan konsentrasi, penurunan prestasi belajar, dan kesulitan memproses informasi.
Ada kalanya anak menjadi korban eksploitasi seksual dan terpaksa melakukan kegiatan seksual demi kepentingan pelaku eksploitasi. Hal ini sering melibatkan relasi kuasa dan manipulasi (misalnya grooming). Namun, ada kalanya anak juga secara sukarela melakukan kegiatan seksual demi kepentingan diri. Misalnya, anak yang menjual dirinya akibat kekurangan secara finansial. Segala dampak dari eksploitasi seksual ini harus dapat segera ditangani dengan baik oleh profesional sebelum dampak itu terus berlanjut dan semakin parah di masa depan. Karena setiap anak berhak atas masa depan yang aman dan bermakna dan sudah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memastikan luka akibat eksploitasi seksual tidak merenggut hak itu selamanya.
● Apa kata mahasiswa? ●
"Kasus eksploitasi seksual anak sering terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia."
"...seharusnya anak itu dilindungi bukan menjadi korban eksploitasi. Dari keluarga atau masyarakat harusnya bisa menjaga anak agar terhindar dari kasus eksploitasi."
"...fenomena eksploitasi seksual anak di Indonesia ini sebenarnya cukup memprihatinkan. Yang bikin sedih, kadang pelakunya justru dari keluarga atau orang terdekat yang harusnya melindungi anak.”
"...eksploitasi anak secara seksual tentunya sangat miris karena merasa kasihan dengan anak-anak tersebut, terlebih karena mereka masih kecil dan masih mudah untuk dipengaruhi."
“Kesadaran mayoritas masyarakat yang rendah juga menjadi tantangan dalam penanganan masalah ini.”
Daftar Pustaka
American Psychiatric Association. (2013). The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 5th Edition (DSM-V). United States
Ward, L. M., Jerald, M. C., Grower, P., Daniels, E. A., & Rowley, S. (2023). Primping, performing, and policing: Social media use and self-sexualization among U.S. White, Black, and Asian-American adolescent girls. Body Image, 46, 324–335. https://doi.org/10.1016/j.bodyim.2023.06.015
Ashari, W. H., & Pebriyenni. (2025). Dampak Kekerasan Seksual pada Anak terhadap Perkembangan Hubungan Sosial (Studi Kasus di Kabupaten Rejang Lebong). Jurnal Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 1(1), 1–7.
ECPAT Indonesia. Peringatan Safer Internet Day 2025: Ancaman Eksploitasi Anak di Internet Masih Tinggi, Safer Internet Day 2025 Menjadikan Kolaborasi Nasional Sebagai Solusi Nyata.
Ismail, Z., Ahmad, & Lestari, M. (2021). Memahami tindak pidana eksploitasi seksual anak. Madza Media
Noviana, I. (2015). Kekerasan seksual terhadap anak: dampak dan penanganannya. Sosio Informa, 1(1).
Putri, M. F. Y., & Hariyanto, D. R. S. (2023). Perlindungan Hukum Anak Sebagai Korban Eksploitasi Seksual Berdasarkan UU No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak. Jurnal Interpretasi Hukum, 4(1), 100–107.
Pulverman, C. S., Kilimnik, C. D., & Meston, C. M. (2018). The impact of childhood sexual abuse on women’s sexual health: A comprehensive review. Sexual Medicine Reviews, 6(2), 188–200. https://doi.org/10.1016/j.sxmr.2017.12.002
