Job Fair atau Job Fear? Ironi Harapan yang Dijajakan

Laura, Balqis, Arina, Almira, Nabila, Aprilia, Agnesia, Bani
Gambar Awal

Bagaimana Keadaan Indonesia?

Indonesia tengah menghadapi krisis ketenagakerjaan yang semakin kompleks. Pemutusan hubungan kerja (PHK) sudah menjadi hal yang tidak asing lagi, bahkan dirasakan langsung oleh banyak pekerja. Untuk mempertahankan kelangsungan bisnis di tengah persaingan yang kian ketat dan tekanan ekonomi, banyak perusahaan kerap mengambil kebijakan efisiensi dengan memberhentikan karyawan. Akibatnya, banyak individu yang harus menerima kenyataan pahit dengan kehilangan pekerjaan secara mendadak, meskipun bukan karena kesalahan mereka sendiri.

PHK di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh krisis internal perusahaan, seperti kebangkrutan Sritex sejak Oktober 2024, tetapi juga merupakan pola tahunan akibat sistem perekrutan pekerja kontrak jangka pendek di sektor padat karya. Beberapa perusahaan memilih tidak memperpanjang kontrak karena pengurangan program, seperti yang terjadi di media SEA Today. Faktor eksternal seperti efisiensi anggaran pemerintah di era Presiden Prabowo turut memperburuk keadaan, berdampak pada sektor media publik seperti TVRI dan RRI. Selain itu, dampak berkepanjangan pandemi COVID-19 juga memperlambat ekonomi nasional dan global, memicu PHK massal karena perusahaan berada dalam kondisi force majeure.

Salah satu upaya pemerintah daerah untuk mengatasi pengangguran adalah dengan menyelenggarakan job fair, seperti “Bekasi Pasti Kerja 2025” yang menyediakan 2.500 lowongan dari 64 perusahaan. Namun, acara ini menuai kritik karena kurangnya tata kelola, dengan 25.000 pencari kerja memadati lokasi hingga terjadi kericuhan dan beberapa peserta pingsan akibat desakan. Menanggapi hal ini, Bupati Bekasi dan Dinas Ketenagakerjaan menyampaikan permintaan maaf serta berkomitmen untuk memperbaiki sistem ke depan.

Seiring meningkatnya kritik, banyak pihak menilai job fair hanya bersifat seremonial dan formalitas semata. Meski bertujuan mulia, yaitu mempertemukan pencari kerja dengan penyedia lowongan, namun pelaksanaannya sering tidak menyentuh akar permasalahan pengangguran secara menyeluruh. Banyak pengamat menyebut bahwa acara seperti ini lebih menonjolkan pencitraan, baik untuk lembaga pemerintah maupun perusahaan peserta, daripada menciptakan solusi konkret atas masalah ketenagakerjaan.
‎ ‎

“Job fair sih sebenarnya bagus buat pencari kerja dan perusahaan, apalagi buat fresh graduate. Tapi kadang kesannya cuma formalitas, banyak lowongan yang ujung-ujungnya nggak ditindaklanjuti….”

Gambar Tengah
Ilustrasi gambar tengah artikel

Seiring meningkatnya kritik, banyak pihak menilai job fair hanya bersifat seremonial dan formalitas semata. Meski bertujuan mulia, yaitu mempertemukan pencari kerja dengan penyedia lowongan, namun pelaksanaannya sering tidak menyentuh akar permasalahan pengangguran secara menyeluruh. Banyak pengamat menyebut bahwa acara seperti ini lebih menonjolkan pencitraan, baik untuk lembaga pemerintah maupun perusahaan peserta, daripada menciptakan solusi konkret atas masalah ketenagakerjaan.

Secara sosial, para korban dari PHK yang kemudian menganggur umumnya mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Pengangguran kerap dikaitkan dengan label negatif seperti tidak produktif, malas, atau bahkan dianggap sebagai bentuk kegagalan pribadi. Stigma ini dapat menurunkan kepercayaan diri, kualitas hidup, dan mempersempit peluang kerja. Dalam beberapa kasus, stigma tersebut justru menjadi hambatan tambahan dalam proses pencarian kerja. Penolakan dari lembaga atau perusahaan sering kali terjadi karena persepsi negatif terhadap status pengangguran (O’Donnell et al., 2015). PHK besar-besaran juga mendorong pergeseran ke sektor informal, di mana mantan pekerja terdorong menjadi buruh harian atau pelaku usaha kecil tanpa jaminan sosial. Perubahan ini meningkatkan kerentanan sosial karena pendapatan tidak stabil dan akses layanan publik terbatas. Selain itu, PHK memperlebar kesenjangan dan menghambat mobilitas sosial.

Selain dampak sosial, terdapat dampak psikologis dari PHK yang dapat dijelaskan dengan menggunakan teori Hierarki Kebutuhan Maslow. Kebutuhan yang kurang tercukupi ketika individu mengalami PHK adalah kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman yang berujung tidak terpenuhinya kebutuhan dasar lainnya. Individu yang tidak terpenuhi kebutuhan fisiologis dan rasa amannya cenderung mengalami stres, yang kemudian dapat menghambat pemenuhan kebutuhan akan kasih sayang dan rasa memiliki. Rasa tidak dicintai ini pada akhirnya membuat individu kehilangan motivasi untuk meningkatkan value diri demi dihargai oleh orang lain. Individu berujung merasa minder dan gelisah akibat gagal memenuhi kebutuhan diri terpentingnya, yaitu aktualisasi diri.

Di tengah kompleksitas persoalan ketenagakerjaan, diperlukan perubahan cara pandang yang lebih menyeluruh, bahwa pekerjaan bukan sekadar urusan ekonomi, tetapi juga menyangkut martabat, harapan, dan keberlangsungan hidup jutaan orang. Tersimpan perjuangan jutaan orang yang tengah berusaha keras mempertahankan hidup, sambil terus berharap akan masa depan yang lebih cerah. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat luas sangat penting dalam merumuskan kebijakan ketenagakerjaan yang lebih adil, adaptif, dan berkelanjutan. Meski menghadapi berbagai tantangan, dengan kebijakan yang tepat tetap ada harapan bahwa dengan masa depan ketenagakerjaan di Indonesia bisa menjadi lebih baik.
‎ ‎

● Apa kata pekerja korban PHK? ●
“Waktu itu rasanya campur aduk… ya putus asa, ya agak marah juga. Kayak nggak percaya aja. Soalnya saya udah kerja baik-baik, eh malah kena PHK. Kaget banget, beneran.”
“…setelah PHK, langsung bingung. Mau dapet uang dari mana? Mau usaha apa juga belum tahu.”
“Kadang mikir, “ya mau ngapain juga?” Wong yang kena PHK juga banyak. Rasanya biasa aja sih, udah jadi hal yang umum sekarang.”
“Di negara berkembang kayak Indonesia, PHK itu udah sering kejadian. Jadi orang-orang juga ya nggak terlalu heran. Tapi kadang tetap kerasa sih, kayak dipandang sebelah mata.”
“…tolong dong ciptakan suasana negara yang kondusif dan stabil. Jangan banyak isu politik yang bikin gaduh.”

Gambar Akhir

Bagikan Artikel