
Universitas Sebelas Maret (UNS) berduka
Pada 1 Juli 2025 lalu, Universitas Sebelas Maret (UNS) berduka atas peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh salah satu mahasiswinya di Jembatan Jurug, Surakarta. Kejadian ini disaksikan langsung oleh seorang pengemudi ojek online (OJOL). Menurut kesaksiannya, saat melompat ke sungai, korban meninggalkan sepeda motor serta sebuah tas yang berisi ponsel, kartu identitas, dan buku catatan kecil. Pada salah satu halaman buku tersebut, petugas menemukan pesan terakhir yang diduga ditulis oleh korban. Pesan itu ditulis dengan tulisan tangan dan menyiratkan kondisi mental korban yang sedang tidak stabil (Jawapos, 2025).
Diketahui bahwa korban telah menjadi klien Subdirektorat Layanan Konseling Mahasiswa UNS sejak Januari 2025 dan sudah direkomendasikan untuk melanjutkan proses penanganan ke psikiater. Dalam proses tersebut, dosen pembimbing akademik Sekolah Vokasi UNS, Dr. Sumardiyono, S.KM., M.Kes., menerima pengakuan langsung dari korban mengenai adanya keinginan untuk melakukan percobaan bunuh diri.
Fenomena bunuh diri di Indonesia semakin menjadi persoalan yang tidak bisa diabaikan, khususnya di kalangan remaja dan dewasa muda. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), setiap tahun sekitar 720.000 orang meninggal akibat bunuh diri, dengan jumlah tertinggi terjadi pada remaja hingga dewasa dengan rentang usia 15-29 tahun. Hal ini menempatkan bunuh diri sebagai penyebab kematian kedua terbesar pada kelompok usia tersebut (Edhisty & Abdullah, 2025). Di Indonesia, peristiwa bunuh diri terus meningkat. Hingga Oktober 2024, jumlah kasus bunuh diri di Indonesia telah mencapai 1.023 kasus (Sallim et al., 2025).
“Aku pribadi sering menemui teman-teman yang belum tau atau takut untuk mengutarakan hal mengenai kesehatan mental mereka karena stigma terhadap kesehatan mental yang masih sangat kental di Indonesia sendiri, aku pribadi pernah ada di posisi yang sama dan tentunya tidak ada orang di sekitarku yang bisa membantu…” -Anonim

Dalam kasus di UNS, pihak kampus menambahkan bahwa korban diketahui memiliki riwayat percobaan bunuh diri sejak tahun 2023 hingga 2025. Upaya percobaan bunuh diri tersebut dilakukan dengan berbagai cara, termasuk menggunakan peralatan tajam, overdosis obat, hingga pernah menjadi pasien Rumah Sakit Jiwa (UNS, 2025). Berdasarkan surat terakhir yang ditinggalkan korban sebelum melakukan percobaan bunuh diri, korban menuliskan bahwa “Tak masalah semua orang bilang yang lain bipolar juga bisa… aku engga…” mengindikasikan bahwa korban memiliki gangguan bipolar.
Gangguan bipolar atau bipolar disorder merupakan salah satu jenis gangguan mood yang ditandai dengan perubahan ekstrem pada mood serta perubahan tingkat energi dan aktivitas. Perubahan mood biasanya pergeseran antara tingginya kegembiraan dan dalamnya depresi. Beberapa individu dengan gangguan bipolar berisiko melakukan percobaan bunuh diri, terutama saat mengalami transisi dari fase mania menuju depresi. Mayoritas mengatakan bahwa mereka akan melakukan hampir segala hal untuk lepas dari depresi yang mereka tahu ada di depan mereka (Nevid, 2014).
Dalam kasus di UNS, pihak kampus menambahkan bahwa korban diketahui memiliki riwayat percobaan bunuh diri sejak tahun 2023 hingga 2025. Upaya percobaan bunuh diri tersebut dilakukan dengan berbagai cara, termasuk menggunakan peralatan tajam, overdosis obat, hingga pernah menjadi pasien Rumah Sakit Jiwa (UNS, 2025). Berdasarkan surat terakhir yang ditinggalkan korban sebelum melakukan percobaan bunuh diri, korban menuliskan bahwa “Tak masalah semua orang bilang yang lain bipolar juga bisa… aku engga…” mengindikasikan bahwa korban memiliki gangguan bipolar.
Gangguan bipolar atau bipolar disorder merupakan salah satu jenis gangguan mood yang ditandai dengan perubahan ekstrem pada mood serta perubahan tingkat energi dan aktivitas. Perubahan mood biasanya pergeseran antara tingginya kegembiraan dan dalamnya depresi. Beberapa individu dengan gangguan bipolar berisiko melakukan percobaan bunuh diri, terutama saat mengalami transisi dari fase mania menuju depresi. Mayoritas mengatakan bahwa mereka akan melakukan hampir segala hal untuk lepas dari depresi yang mereka tahu ada di depan mereka (Nevid, 2014).
Di Indonesia, meski bunuh diri bukan suatu hal yang baru untuk diketahui, namun perilaku bunuh diri masih sering kali dianggap tabu untuk dibahas. Bahkan, tidak jarang pula stigma negatif melekat pada perilaku bunuh diri. Banyak orang yang memiliki kecenderungan bunuh diri memilih diam karena khawatir akan stigma negatif dari lingkungan, sehingga sering kali mereka tidak mendapat bantuan yang mereka butuhkan. Bahkan, hanya sedikit dari mereka yang akhirnya berhasil untuk memberanikan diri dan mencari bantuan ke orang lain maupun pihak yang profesional. Akibatnya, bunuh diri sering dianggap sebagai hal yang tidak terduga, karena korban tidak mampu dalam meminta pertolongan. Ironisnya, setelah meninggal pun, mereka masih mendapat stigma negatif dari masyarakat (Siauw, 2018).
Kasus ini mengingatkan kita akan pentingnya meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental. Apabila seseorang mengalami dorongan bunuh diri, penting untuk tidak menyembunyikan perasaan tersebut dan segera berbicara dengan orang terpercaya, mengakses layanan konseling, dan menjauhkan diri dari benda berbahaya. Menghapus stigma negatif terhadap gangguan mental juga krusial agar korban merasa aman dalam mencari dukungan. Kampus dan masyarakat juga berperan besar dalam meningkatkan kesadaran dengan menyediakan layanan konseling yang mudah dijangkau, rutin mengadakan edukasi tentang kesehatan mental, serta menciptakan lingkungan yang mendukung dan bebas stigma.
Menghadapi krisis kesehatan mental dan meningkatnya kasus
bunuh diri, penting untuk menyediakan ruang diskusi yang aman dan
nyaman. Dengarkan, peduli, dan sadari bahwa masalah kesehatan
mental itu nyata.
Jika kalian merasa butuh bantuan, jangan ragu untuk menghubungi
layanan konseling yang tersedia, seperti::
● Sasmita Jiwa UNS | 085134357575
● BISA Helpline | 08113855472
● RS Jiwa Daerah Surakarta Dr. Arif Zainudin Provinsi Jawa Tengah |
0271-641442
● RSJ Soeharto Heerdjan Jakarta | (021) 5682841
● RSJ Radjiman Wediodiningrat Malang | (0341) 423444
Hotline dan layanan konseling lainnya juga tersedia dan dapat dilihat
secara lengkap melalui artikel yang bisa diakses lewat QR di infografis ini.
● Apa kata mahasiswa? ●
“…biasanya sering mendengar tentang kasus serupa di universitas top yang tentunya memiliki tingkat pressuring yang lebih tinggi, mendengar kasus yang sama terjadi di UNS justru membuatku prihatin dan sadar bahwa semua universitas dari level manapun harus melakukan evaluasi terhadap mekanisasi mereka bagi mahasiswanya di kemudian hari.”
“Aku yakin fasilitas ini sudah cukup bisa diakses namun aku pribadi sering menemui teman-teman yang belum tau atau takut untuk mengutarakan hal mengenai kesehatan mental mereka karena stigma terhadap kesehatan mental yang masih sangat kental di Indonesia sendiri…”
“Biasanya dan juga dari pengalaman pribadi sih orang yang memiliki masalah mental sering disebut kurang iman, cari perhatian, bahkan dianggap aib. Nah, stigma inilah yang malah menurutku jadi salah satu faktor dari seseorang untuk memilih mengakhiri hidupnya sendiri.”
“...untuk kampus, pastinya kampus harus memberikan fasilitas ataupun layanan yang layak untuk masalah kesehatan mental mahasiswa, dan juga mungkin dapat bekerjasama dengan psikolog untuk membangun sistem perkuliahan dengan beban akademik yang tidak terlalu berat.”
“...jadi lebih sadar ke teman-teman ku buat ngebantu mereka, back again menurutku fasilitas Indonesia masih jauh dari kata bagus tapi bisa ditingkatkan
