
Ada apa dengan PPATK?
Belakangan ini, publik Indonesia sedang ramai membahas kebijakan PPATK yang memblokir sejumlah rekening dormant, yaitu rekening tanpa aktivitas selama tiga bulan. Kebijakan ini memicu perdebatan luas. Sejumlah masyarakat yang terkena pemblokiran akun rekening mengaku kesulitan, karena kebanyakan dari mereka menggunakan rekening tersebut untuk menabung. Mereka menilai tuduhan terkait korupsi maupun pencucian uang tidak relevan dengan kondisi mereka.
Dilansir dari detiknews, kebijakan pemblokiran rekening dormant diterapkan sejak Mei 2025 setelah PPATK menemukan rekening yang disalahgunakan untuk menampung hasil tindak pidana, seperti jual beli rekening hingga korupsi (Budi, 2025). Tujuan kebijakan ini adalah untuk mencegah rekening dormant dari tindak pidana penyalahgunaan untuk praktik ilegal (Grehenson, 2025) serta menjaga integritas sistem keuangan nasional (Heriani, 2025). Sehingga, PPATK menjamin bahwa uang nasabah akan aman selama rekening dormant tersebut dalam masa blokir (Budi, 2025).
Kupas Tuntas Kebijakan Baru

Meskipun memiliki tujuan pencegahan, kebijakan ini menuai kritik dari berbagai kalangan. Banyak nasabah merasa dirugikan karena adanya pemblokiran tersebut sehingga menghambat urusan mereka (Heriani, 2025). Peneliti The PRAKARSA, Ari Wibowo dan Sekretaris Eksekutif YLKI, Rio Priyambodo menilai bahwa kebijakan ini justru mengganggu stabilitas sistem keuangan akibat turunnya kepercayaan masyarakat. Ari menambahkan, tindakan PPATK telah bertentangan dengan prinsip negara hukum, seperti melanggar hak asasi finansial warga negara, hak konstitusional, serta bertentangan dengan sejumlah regulasi (The PRAKARSA, 2025).
Meski menuai kritik, sejumlah pihak seperti Muhammad Nasir Jamil (Komisi III DPR), Presiden Prabowo, dan ekonom Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), David Sumual, menilai pemblokiran efektif menangkal rekening dari kriminalitas, seperti judi online (Yaputra et. al., 2025). Dilansir dari kutipan wawancara detiknews pada 31 Juli lalu, Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, bahkan melaporkan penurunan deposit judi online lebih dari 70%, dari Rp5 triliun menjadi Rp1 triliun. Dari 1,5 juta rekening yang digunakan untuk tindak pidana pencucian uang (TPPU) sejak 2020–2024, terdapat 50 ribu rekening dormant (Yaputra et. al, 2025).
Kebijakan pembekuan rekening dormant oleh PPATK memicu kekhawatiran luas di masyarakat terkait kemungkinan terjadinya rush money atau penarikan dana besar-besaran secara serentak dari bank. Isu ini memanas setelah beredarnya unggahan viral di platform X dan Tik Tok, termasuk akun @Hen*** yang menunjukkan WNI di Hong Kong menarik seluruh tabungan di BRI Global Financial, serta akun @tetang**** yang memperlihatkan antrian panjang masyarakat. Konten-konten ini memperkuat persepsi publik bahwa kebijakan PPATK memicu rush money.
Menanggapi isu ini, PPATK memastikan tidak mendapatkan laporan maupun data perbankan yang mengindikasikan terjadinya rush money akibat kebijakan tersebut. Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, menegaskan rekonsiliasi rekening dan saldo nasabah tetap aman, serta pemblokiran dilakukan semata untuk mencegah penyalahgunaan rekening yang berpotensi disalahgunakan untuk kejahatan keuangan (Kompas.com, 2025).
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), melalui Ketua Mufti Mubarok, menegaskan pihaknya meminta PPATK bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) untuk membatalkan serta meninjau ulang kebijakan pemblokiran rekening karena bertentangan dengan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menjamin hak atas kenyamanan, keamanan, dan informasi yang jelas.
“Pemerintah harus segera mencabut kebijakan ini dan mengevaluasi secara menyeluruh, pemerintah harus dapat menggunakan pendekatan yang lebih konstruktif lagi dalam mendesain kebijakan yang dapat melindungi masyarakat …” -Anonim
Saat ini, dengan total sejumlah 122 juta rekening dormant yang diblokir oleh PPATK telah dibuka kembali per 5 Agustus 2025 lalu. PPATK menegaskan bahwa proses reaktivasi rekening tersebut telah PPATK serahkan kepada masing-masing bank dengan mekanisme yang bertahap, disertai prosedur customer due diligence (CDD) dan enhanced due diligence (EDD) (Tim detikcom, 2025).
Pemblokiran rekening telah menimbulkan dampak ekonomi yang signifikan pada masyarakat, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang mengandalkan akses cepat terhadap dana pribadi. Hal ini menyengsarakan rakyat kecil, karena rekening yang diblokir seringkali merupakan satu-satunya akses mereka terhadap simpanan sebagai dana cadangan atau untuk kebutuhan mendesak (Widyatmaka, 2025). Proses pembukaan kembali rekening juga memakan waktu hingga 5–20 hari kerja dan sering kali tidak disertai mekanisme pemberitahuan atau prosedur verifikasi yang transparan (Setiawan, 2025).
Kejadian ini menimbulkan stres terhadap masyarakat, terlebih stress finansial. Stres finansial adalah tekanan yang dirasakan individu akibat masalah atau ketidakstabilan keuangan. Kondisi ini dapat memunculkan rasa takut, penderitaan, dan ketidakpuasan terhadap situasi keuangan yang sedang dihadapi (Rahman et al., 2021). Meskipun PPATK sudah melaporkan bahwa telah membatalkan pemblokiran terhadap 28 juta rekening. Namun, tidak bisa dipungkiri banyaknya orang yang tidak lagi merasa aman untuk menyimpan uang di bank.
“Menurut saya, dampak psikologis yang terjadi adalah masyarakat akhirnya tidak mempercayakan lagi untuk menitipkan uangnya kepada bank, di mana hal itu akan berdampak pada collapse-nya bank dan terganggunya tatanan ekonomi di Indonesia.” -Anonim
Kebanyakan rekening yang dinyatakan dormant adalah rekening yang awalnya digunakan sebagai tempat menabung dana. Masyarakat juga menjadi takut apabila di masa mendatang, akan ada pemblokiran rekening tanpa peringatan lagi yang dapat mengganggu proses transaksi penting. Kondisi ini membuat sebagian masyarakat mempertimbangkan untuk mengalihkan simpanan dari bank ke bentuk aset lain yang dianggap lebih aman.
● Apa kata mahasiswa? ●
”Shock sih pastinya awalnya, atau mungkin bisa memicu amarah ketika uang itu perlu dibutuhkan tapi ternyata statusnya sudah terblokir sejak lama, dan mungkin akan merasa bingung untuk mengaktifkan kembali.”
“… Menurut saya itu adalah salah satu bagian dari pelanggaran HAM yang terjadi karena adanya pembatasan kebebasan masyarakat tanpa adanya kejelasan substansi terhadap hal tersebut.”
“... Keuangan menurutku itu sesuatu hal yang sangat sangat perlu dikelola secara baik.”
“Menurut saya dampak psikologis yang terjadi adalah masyarakat akhirnya tidak mempercayakan lagi untuk menitipkan uangnya kepada bank, di mana hal itu akan berdampak pada collapse nya bank dan terganggunya tatanan ekonomi di Indonesia.”
“Pemerintah harus segera mencabut kebijakan ini dan mengevaluasi secara menyeluruh, pemerintah harus dapat menggunakan pendekatan yang lebih konstruktif lagi dalam mendesain kebijakan yang dapat melindungi masyarakat …”
